Selasa, 22 Desember 2009

Semeru Anak Muda

Berkurangnya Kontrol Politik Hukum di Indonesia


Banyaknya rancangan undang-undang (RUU) yang sedang digodok, pada intinya merupakan RUU yang disiapkan bukan untuk meregulasi rakyat, melainkan mengatur perilaku aparatur negara untuk bisa memberikan pelayanan yang baik kepada rakyat.

Gencarnya protes yang dilakukan oleh sejumlah warga sehubungan dengan berbagai RUU yang mereka anggap bakal mengurangi hak mereka, sepertinya sudah terlihat di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jakarta. Mereka berbondong-bondong turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Diantara peraturan yang saat ini tengah populer diprotes adalah RUU Rahasia Negara, revisi undang-undang (UU) Tenaga Kerja, rencana perubahan UU Pokok Agraria 1960, dan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.

Pada era Orde Baru, politik hukum diabdikan untuk terciptanya stabilitas politik bagi pertumbuhan ekonomi. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang ke mana arah pembangunan hukum pasca Orde Baru? Banyak ahli hukum merasa bingung terhadap politik hukum Indonesia yang terlihat tidak terkontrol. Sebagaimana yang disampaikan oleh Denny Indrayana, ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, “Politik hukum di Indonesia tidak terkontrol. Kadang-kadang hanya copy paste dari satu perda ke perda lain.” Kata Denny. Pembuatan peraturan daerah (perda) juga seringnya diabdikan untuk kepentingan politik jangka pendek, contohnya pilkada.

Namun menurut Jack Snyder, guru besar hubungan internasional dan Ketua Departemen Ilmu Politik di Universitas Columbia, Amerika Serikat, “Awal masa demokratisasi dan liberalisasi pers akan meningkatkan resiko konflik nasionalis atau SARA.” Ia juga menambahkan, “Dalam demokrasi yang masih setengah-setengah, elit sering memanfaatkan kedudukan mereka dalam pemerintahan, perekonomian, atau media massa untuk mengorbankan nasionalisme dan menentukan wacana umum.”

Seperti yang dicantumkan dalam beberapa literatur, konstitusi adalah sebuah kesepakatan umum atau konsensus yang berhasil diwujudkan oleh mayoritas rakyat mengenai sebuah bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Menurut Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi, “Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara, dan pada gilirannya adalah perang saudara atau revolusi.” Kesepakatan untuk tetap berpegang pada konstitusi sebagai hukum dasar seharusnya tetap menjadi acuan bagi kehidupan bernegara. Aturan yang lebih rendah seharusnya juga mengacu pada hukum dasar, bukan malah membuat aturan-aturan sendiri dengan dalih otonomi daerah.

Melihat ketidakjelasan politik hukum pada di era transisi ini, munculnya elemen kritis di kalangan masyarakat sipil, pemerintahan yang efektif dan kuat, serta lembaga pengadilan yang mampu menguji peraturan di dalam bingkai UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan.

Tidak ada komentar:

yanto muda

yanto muda
Stick Ynto